Pencarian
translator
User Yang Sedang Online
Total 120 uses online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 120 Tamu Tidak ada
User online terbanyak adalah 292 pada Mon Oct 28, 2024 9:51 pm
Makna Cinta Kahlil Gibran
Halaman 1 dari 1
Makna Cinta Kahlil Gibran
Makna Cinta Kahlil Gibran
Bagi Gibran cinta
mengarahkan manusia pada Allah, dan karena cinta pula Allah
mempertemukan diri-Nya kepada manusia. Lantaran itu dalam pandangan
Gibran cinta sesungguhnya adalah cinta atas nama Allah dan cinta kepada
Allah itu sendiri, karena segala sesuatu adalah pantulan dan imanensi
dari Sang Mahacinta. Cinta kepada yang lain selain Allah, tetapi atas
nama dan di dasarkan pada Allah akan membawa manusia dan alam semesta
kepada persekutuan dengan Allah. Hal ini terungkap jelas dalam
tulisannya yang berjudul Cinta Keindahan Kesunyian, (Yogyakarta, Bentang Budaya, 1999, hal. 72-74) "Cinta
membimbingku mendekati-Mu namun kemudian kegelisahan membawaku
menjauhinya. Aku telah meninggalkan pembaringanku, cinta, karena takut
pada hantu kelupaan yang bersembunyi di balik selimut kantuk. Bangun,
bangun, cintaku, dan dengarkan aku. Aku mendengarkan-Mu, kekasihku! Aku
mendengar panggilan-Mu dari dalam lautan dan merasakan kelembutan
sayap-sayap-Mu. Aku telah menginggalkan pembaringanku dan berjalan di
atas rerumputan. Embun malam membasahi kaki dan keliman pakaianku, di
sini aku berdiri di bawah bunga-bunga pohon Almond, memperhatikan
ruh-Mu." Gibran tidak hanya menekankan cinta
sebagai dasar hubungan antara manusia dengan Allah, tetapi lebih jauh
dari itu melalui dan dalam cinta manusia diarahkan, dituntun sampai
pada tahap akhirnya hidup dalam persekutuan dengan Allah. Cinta
melampaui keterbatasan manusia, menembus ruang fisik dan berjumpa
dengan Allah. Dengan demikian cinta ditempatkan Gibran sebagai bentuk
hubungan terpenting dan tertinggi. Agar sampai pada
persekutuan dengan Allah melalui Cinta, bagi Gibran cinta itu harus
berangkat dari peran manusia yang kongkret dalam kodrat kemanusiaan dan
potensi-potensinya yang lebih jauh dan luas. Dalam Triloginya Sang Nabi, Taman Sang Nabi, dan Suara Sang Guru (Yogyakarta, Pustaka Sastra, 2004, hal 212) dengan jelas Gibran menggambarkan tentang hal tersebut.
"Kalian orang-orang beriman yang dapat menemukan adanya suatu dasar
untuk kemajuan seluruh umat manusia dalam sifat baik manusia, dan bahwa
dalam diri manusia terdapat tangga kesempurnaan yang menuju Roh Kudus?
Jika kalian dapat berlaku demikian, maka kalian akan seperti bunga
bakung di taman kebenaran yang abadi harumnya baik tersimpan dihirup
manusia atau tersapu oleh angin lalu."Hal senada dikatakan Gibran dalamSemua Karena Cinta (Yogyakarta, Narasi, 2005, hal. 54)"Hidup tanpa cinta bagaikan sebatang pohon yang kokoh berdiri namun dahannya kering, tanpa dihiasi buah ataupun bunga."Sejalan
dengan pandangan mistik agama samawi, bagi Gibran persatuan Allah dan
manusia tidak hanya terjadi dalam cinta yang meluap-luap dan
berkobar-kobar kepada Allah dalam ekstase. Gibran lebih memandang
pengalaman mistik dari aspek etika. Pengalaman mistik dalam pandangan
Gibran tidak berarti melarikan diri dari tugas dan tanggungjawab hidup
di dunia ini, dengan menyingkir untuk masuk dalam ekstase kebahagiaan
untuk diri sendiri saja, membelakangi dunia serta melupakan segala
penderitaan hidup diri sendiri maupun orang lain. Baginya mistisisme
yang hanya mementingkan diri sendiri adalah egoisme alias
pengingkaran terhadap kodrat manusia. Gibran menekankan bahwa relasi
cinta antara Allah dan manusia baru akan menjadi nyata bila melimpah ke
dunia dalam wujud cinta kepada sesama. Ini harus terjadi bukan dengan
kata-kata, melainkan dalam belas kasihan dan kurban diri. Wujud
tertinggi dari cinta bagi Gibran adalah terlibat atau melibatkan diri
dalam dunia; dan bentuk keterlibatan itu dimaknai oleh Gibran dengan
kerja. Kerja atau pekerjaan adalah satu-satunya wujud relasi manusia
dengan Allah dalam dunia, sebagai sebuah bentuk kurban diri yang
kongkret. Kerja yang dimaksudkan Gibran tidak hanya melibatkan daya
fisik tetapi juga pikiran dan perasaan manusia. Melalui kerja manusia
dapat mewujudkan dirinya sebagai individu. Dengan bekerja manusia dapat
melebur dalam persatuan dengan sesama, dan dengan bekerja pula manusia
dapat menjumpai Allah di dalam alam semesta. Hal ini dilukiskan Gibran
dalam Triloginya (hal.28-29)"...aku berkata bahwa
hidup memang kegelapan, jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua
hasrat-keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan
segala pengetahuan adalah hampa, jika tidak diikuti pekerjaan. Dan
setiap pekerjaan akan sia-sia, jika tidak disertai cinta. Bekerja
dengan rasa cinta, berarti kalian sedang menyatukan diri dengan diri
kalian sendiri, dengan diri-diri orang lain - dan kepada Allah."Gibran
meyakini bahwa kerja merupakan dimensi mendasar hidup manusia di dunia.
Latar belakang pemikirannya adalah karena manusia ialah citra Allah,
juga karena perintah yang diterima dari Penciptanya untuk menaklukkan
dan menguasai dunia. Bagi Gibran semua perkerjaan manusia harus
berorientasi pada cinta. Karena kerja yang berlandaskan pada cinta,
maka melalui kerja atau pekerjaan manusia tidak hanya mengubah kodrat,
tetapi juga mewujudkan dirinya sendiri dan membangun masyarakat
keluarga dan bangsa.Bagi Gibran cinta tidak punya makna
selain mewujudkan maknanya sendiri. Cinta tidak memberikan apa-apa pada
manusia, kecuali keseluruhan dirinya, dan cintapun tidak mengambil
apa-apa dari manusia, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak
memiliki atau dimiliki, karena telah cukup untuk cinta. Namun jika
manusia mencintai dengan hasrat dan keinginan, maka manusia harus
meluluhkan diri, mengalir di dalamnya, dan terlibat. Hanya saja dalam
kehidupan manusia cinta yang sempurna tidak dapat ditemukan. Kehidupan
adalah tabir kegelapan, berkerudung dan bercadar. Melalui dan dalam
cinta manusia senantiasa digiatkan untuk melakukan pencarian makna
kehidupan dengan mengamalkan cinta kasih, tetapi kesempurnaan cinta
hanya ada dan dimiliki oleh Allah. "Apabila kalian
mencinta, janganlah berkata: "Allah ada di dalam hatiku" tetapi
sebaliknya kalian merasa: "Aku berada di dalam Allah" Dan jangan kalian
mengira bahwa kalian dapat menentukan arah cinta, karena cinta apabila
telah menjatuhkan pilihan pada kalian, dialah yang akan menentukan
perjalanan hidup cinta." (Trilogi hal.14)Dalam
kehidupan, manusia tidak mampu mengukur kualitas cinta, sebab kepenuhan
cinta sesungguhnya adalah Allah itu sendiri. Allah adalah awal dan
akhir kehidupan, Allah adalah cinta, maka hanya dalam dan melalui cinta
manusia berjalan dan mengarahkan dirinya kepada Allah.
Bagi Gibran cinta
mengarahkan manusia pada Allah, dan karena cinta pula Allah
mempertemukan diri-Nya kepada manusia. Lantaran itu dalam pandangan
Gibran cinta sesungguhnya adalah cinta atas nama Allah dan cinta kepada
Allah itu sendiri, karena segala sesuatu adalah pantulan dan imanensi
dari Sang Mahacinta. Cinta kepada yang lain selain Allah, tetapi atas
nama dan di dasarkan pada Allah akan membawa manusia dan alam semesta
kepada persekutuan dengan Allah. Hal ini terungkap jelas dalam
tulisannya yang berjudul Cinta Keindahan Kesunyian, (Yogyakarta, Bentang Budaya, 1999, hal. 72-74) "Cinta
membimbingku mendekati-Mu namun kemudian kegelisahan membawaku
menjauhinya. Aku telah meninggalkan pembaringanku, cinta, karena takut
pada hantu kelupaan yang bersembunyi di balik selimut kantuk. Bangun,
bangun, cintaku, dan dengarkan aku. Aku mendengarkan-Mu, kekasihku! Aku
mendengar panggilan-Mu dari dalam lautan dan merasakan kelembutan
sayap-sayap-Mu. Aku telah menginggalkan pembaringanku dan berjalan di
atas rerumputan. Embun malam membasahi kaki dan keliman pakaianku, di
sini aku berdiri di bawah bunga-bunga pohon Almond, memperhatikan
ruh-Mu." Gibran tidak hanya menekankan cinta
sebagai dasar hubungan antara manusia dengan Allah, tetapi lebih jauh
dari itu melalui dan dalam cinta manusia diarahkan, dituntun sampai
pada tahap akhirnya hidup dalam persekutuan dengan Allah. Cinta
melampaui keterbatasan manusia, menembus ruang fisik dan berjumpa
dengan Allah. Dengan demikian cinta ditempatkan Gibran sebagai bentuk
hubungan terpenting dan tertinggi. Agar sampai pada
persekutuan dengan Allah melalui Cinta, bagi Gibran cinta itu harus
berangkat dari peran manusia yang kongkret dalam kodrat kemanusiaan dan
potensi-potensinya yang lebih jauh dan luas. Dalam Triloginya Sang Nabi, Taman Sang Nabi, dan Suara Sang Guru (Yogyakarta, Pustaka Sastra, 2004, hal 212) dengan jelas Gibran menggambarkan tentang hal tersebut.
"Kalian orang-orang beriman yang dapat menemukan adanya suatu dasar
untuk kemajuan seluruh umat manusia dalam sifat baik manusia, dan bahwa
dalam diri manusia terdapat tangga kesempurnaan yang menuju Roh Kudus?
Jika kalian dapat berlaku demikian, maka kalian akan seperti bunga
bakung di taman kebenaran yang abadi harumnya baik tersimpan dihirup
manusia atau tersapu oleh angin lalu."Hal senada dikatakan Gibran dalamSemua Karena Cinta (Yogyakarta, Narasi, 2005, hal. 54)"Hidup tanpa cinta bagaikan sebatang pohon yang kokoh berdiri namun dahannya kering, tanpa dihiasi buah ataupun bunga."Sejalan
dengan pandangan mistik agama samawi, bagi Gibran persatuan Allah dan
manusia tidak hanya terjadi dalam cinta yang meluap-luap dan
berkobar-kobar kepada Allah dalam ekstase. Gibran lebih memandang
pengalaman mistik dari aspek etika. Pengalaman mistik dalam pandangan
Gibran tidak berarti melarikan diri dari tugas dan tanggungjawab hidup
di dunia ini, dengan menyingkir untuk masuk dalam ekstase kebahagiaan
untuk diri sendiri saja, membelakangi dunia serta melupakan segala
penderitaan hidup diri sendiri maupun orang lain. Baginya mistisisme
yang hanya mementingkan diri sendiri adalah egoisme alias
pengingkaran terhadap kodrat manusia. Gibran menekankan bahwa relasi
cinta antara Allah dan manusia baru akan menjadi nyata bila melimpah ke
dunia dalam wujud cinta kepada sesama. Ini harus terjadi bukan dengan
kata-kata, melainkan dalam belas kasihan dan kurban diri. Wujud
tertinggi dari cinta bagi Gibran adalah terlibat atau melibatkan diri
dalam dunia; dan bentuk keterlibatan itu dimaknai oleh Gibran dengan
kerja. Kerja atau pekerjaan adalah satu-satunya wujud relasi manusia
dengan Allah dalam dunia, sebagai sebuah bentuk kurban diri yang
kongkret. Kerja yang dimaksudkan Gibran tidak hanya melibatkan daya
fisik tetapi juga pikiran dan perasaan manusia. Melalui kerja manusia
dapat mewujudkan dirinya sebagai individu. Dengan bekerja manusia dapat
melebur dalam persatuan dengan sesama, dan dengan bekerja pula manusia
dapat menjumpai Allah di dalam alam semesta. Hal ini dilukiskan Gibran
dalam Triloginya (hal.28-29)"...aku berkata bahwa
hidup memang kegelapan, jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua
hasrat-keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan
segala pengetahuan adalah hampa, jika tidak diikuti pekerjaan. Dan
setiap pekerjaan akan sia-sia, jika tidak disertai cinta. Bekerja
dengan rasa cinta, berarti kalian sedang menyatukan diri dengan diri
kalian sendiri, dengan diri-diri orang lain - dan kepada Allah."Gibran
meyakini bahwa kerja merupakan dimensi mendasar hidup manusia di dunia.
Latar belakang pemikirannya adalah karena manusia ialah citra Allah,
juga karena perintah yang diterima dari Penciptanya untuk menaklukkan
dan menguasai dunia. Bagi Gibran semua perkerjaan manusia harus
berorientasi pada cinta. Karena kerja yang berlandaskan pada cinta,
maka melalui kerja atau pekerjaan manusia tidak hanya mengubah kodrat,
tetapi juga mewujudkan dirinya sendiri dan membangun masyarakat
keluarga dan bangsa.Bagi Gibran cinta tidak punya makna
selain mewujudkan maknanya sendiri. Cinta tidak memberikan apa-apa pada
manusia, kecuali keseluruhan dirinya, dan cintapun tidak mengambil
apa-apa dari manusia, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak
memiliki atau dimiliki, karena telah cukup untuk cinta. Namun jika
manusia mencintai dengan hasrat dan keinginan, maka manusia harus
meluluhkan diri, mengalir di dalamnya, dan terlibat. Hanya saja dalam
kehidupan manusia cinta yang sempurna tidak dapat ditemukan. Kehidupan
adalah tabir kegelapan, berkerudung dan bercadar. Melalui dan dalam
cinta manusia senantiasa digiatkan untuk melakukan pencarian makna
kehidupan dengan mengamalkan cinta kasih, tetapi kesempurnaan cinta
hanya ada dan dimiliki oleh Allah. "Apabila kalian
mencinta, janganlah berkata: "Allah ada di dalam hatiku" tetapi
sebaliknya kalian merasa: "Aku berada di dalam Allah" Dan jangan kalian
mengira bahwa kalian dapat menentukan arah cinta, karena cinta apabila
telah menjatuhkan pilihan pada kalian, dialah yang akan menentukan
perjalanan hidup cinta." (Trilogi hal.14)Dalam
kehidupan, manusia tidak mampu mengukur kualitas cinta, sebab kepenuhan
cinta sesungguhnya adalah Allah itu sendiri. Allah adalah awal dan
akhir kehidupan, Allah adalah cinta, maka hanya dalam dan melalui cinta
manusia berjalan dan mengarahkan dirinya kepada Allah.
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik